KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan segala puji bagi
Allah SWT,yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga Saya pada akhirnya dapat menyelesaikan penulisan Karya Tulis Ilmia ini dengan baik dan benar dimana makalahnya
menyajikan dalam bentuk yang sederhana adapun judul makalah ini adalah “ JANGAN NODAI NAMAKU” yang merupakan salah satu Tugas Besar Akhir Semester pada mata kuliah Pancasila
Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini tidak lepas atas bimbingan dan dorongan dari semua
pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini kami tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Ade
Malobassang SH. MH. sebagai
dosen yang mengajar mata kuliah ini.
2. Orang tua
kami yang telah memberi dukungan materi dan moral sehingga dapat menyelesaikan Tugas Ini.
3. Teman-teman
kami yang telah memberi dukungan dan saling bertukar pendapat guna menambah
wawasan.
Makassar, 15 November 2014
Penulis.
DAFTAR ISI
Kata pengantar ...........................................................
i
Daftar isi ...................................................................
ii
BAB I Pendahuluan
a. Latar belakang ................................................... 1
b. Maksud Dan Tujuan ..........................................
2
c. Metode penelitian .............................................. 3
BAB II Pembahasan
A. Pandangan
Pencemaran Nama Baik
.................... 4
B. Dasar Hukum …………………........................... 36
C. Pengertian dan Unsur Tidak Pidana. ................. 41
D. Pengolongan Tindak Pidana...................................51
E. Grafik Cyber Crime Tahun
2013........................... 65
F Dampak Pencemaran Nama Baik………............. 70
G. Aturan Hukum Pencmaran Nama
Baik Di Jaringan
Sosial …………………………………………… 72
H. Langkah Bagus Jika Nama Baik Di Cemarkan Di
Dunia
Maya ……………………………………74
I .
Contoh Kasus ………………………………… 78
BAB
III Penutup
1. Kesimpulan Dan Saran………………………... 96
2. Daftar pustaka
................................................
99
3. Daftar Riwat Hidup ………………………….. 104
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pencemaran
Nama Baik yang semakin meningkat, memberikan dampak positif maupun negatif bagi
pihak yang menggunakannya. Dari sisi positif, Jaringan Sosial dapat menembus batas ruang dan waktu, di mana antara
pengguna dan penyedia layanan dapat melakukan berbagai hal di internet tanpa
mengenal jarak dan perbedaan waktu. Sedang sisi negatif, pengaruh budaya luar
yang dapat mempengaruhi budaya pengguna internet itu
sendiri.
Perkembangan
kejahatan pun semakin luas dan beragam. Mulai dari internet abuse, hacking,
cracking, carding dan sebagainya. Mulai dari coba - coba sampai dengan
ketagihan / addicted, kejahatan di internet menjadi momok bagi pengguna
internet itu sendiri. Jika pada awalnya hanya coba - coba, kemudian berkembang
menjadi kebiasaan dan meningkat sebagai kebutuhan / ketagihan.
Akhir-akhir
ini sering kita dengar kasus Pencemaran nama baik lewat internet. Sebagai
contoh pencemaran nama baik sebuah rumah sakit oleh seorang pasien yang
bernama Dokter ira
mengejar keadilan ke MA.
b. Maksud Dan Tujuan
Sedangkan maksud penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai
penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang penulis dapat selama
belajar di Politeknik Negeri Ujung Pandang ( PNUP )
2. Untuk
memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Pancasila
3. Memberikan
informasi tentang pembahasan pencemaran nama baik.
4. Mengembangkan
pembahasan tentang cyber crime.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai tugas akhir mata kuliah Pancasila S1-Terapan, Jurasan Teknik Sipil di Bidang Jasa
Kosntruksi.
c. Metode
Penelitian
Adapun metode-metode
yang dipergunakan untuk pengumpulan data dalam penyusunan makalah ini dengan
cara sebagai berikut:
1. Metode Pengamatan (Observation)
Metode ini
dilakukan dengan mengumpulkan data melalui pengamatan dengan tujuan mencari
banyak referensi.
2. Metode Pustaka (Library Reseach)
Metode yang
menggunakan sumber-sumber pustaka, berupa buku, artikel atau yang lainnya untuk
mencari informasi dengan cara membaca dan mempelajarinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PANDANGAN
PENCEMARAN NAMA BAIK
Sebelum
kita mempelajari lebih dalam tentang pencemaran Nama Baik Maka saya sebagai
Penulis akan Menjelaskan pengerti tentang apa itu Pencemaran nama Baik?, maka
dalam buku ini saya akan membahas terlebih dahulu Pandangan Pengertian
Pencemaran Nama Baik Berbagai reverensi / Pandangan dari berbagai Sumber.
1.1.Pandangan
Pencemaran Nama Baik Menurut Hukum Islam.
Dalam
hidup ini, setiap manusia menghendaki martabat dan kehormatannya terjaga.
Seperti halnya jiwa, kehormatan dan nama baik setiap manusia juga harus
dilindungi, bebas dari tindakan pencemaran terhadapnya. Hukum Islam sebagai
Rahmatan lil 'Alamin, pada prinsipnya telah menjaga dan menjamin akan
kehormatan tiap manusia juga mengharuskan untuk menjaga kehormatan
saudara-saudaranya. Seperti memberi sanksi bagi seseorang yang menuduh orang
lain melakukan zina tanpa dapat menunjukkan bukti yang telah ditentukan dalam
hukum Islam
Dalam
hukum Islam, aturan tentang larangan pencemaran nama baik ini dapat kita
temukan dalam berbagai jenis perbuatan yang dilarang oleh Allah mengenai
kehormatan, baik itu yang sifatnya hudud seperti jarimah qadzaf, maupun
yang bersifat ta’zir, seperti
dilarang menghina orang lain, membuka aib orang lain,dll. Hukum pidana Islam
memberikan dasar hukum pada pihak terpidana mengacu pada al-Qur’an yang
menetapkan bahwa balasan untuk suatu perbuatan jahat harus sebanding dengan
perbuatan itu.
Islam
memasukkan pencemaran nama baik ini kepada kejahatan yang ada hubungannya
dengan pergaulan dan kepentingan umum yang mengakibatkan pengaruh buruk
terhadap hak-hak perorangan dan masyarakat yang begitu meluas dan mendalam
dampaknya karena hukum Islam sangat menjaga kehormatan setiap manusia.
Maka
hukum Islam selain menetapkan hukuman hudud bagi pelaku qadzaf, juga menetapkan
hukuman duniawi untuk jenis perbuatan lain yang merendahkan kehormatan manusia
yaitu berupa hukuman Ta’zir yang pelaksanaan hukumannya diserahkan
kepada penguasa atau hakim atau mereka yang mempunyai kekuasaan yudikatif.
Selain menetapkan hukuman seperti tersebut diatas, Islam juga mengancam para
pelaku pencemaran nama baik orang lain dengan ancaman Neraka diakhirat kelak,
karena Islam sangat menjaga kehormatan dan nama baik seseorang hambanya.
Islam mengajarkan untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia. Dengan majunya tekhnologi, maka Islam dengan ajaranya menjaga
umatnya agar hidup tentram dan merdeka dalam memanfaatkan tekhnologi.
Sehingga
saat ini berkembang juga kejahatan pencemaran nama baik dengan memanfaatkan
tekhnologi. Oleh sebab itu dalam kasus pencemaran nama baik tersebut sangat
merugikan korban, karena harkat dan martabatnya jadi rusak. Berdasarkan latar
belakang tersebut, bagaimana penegakan hukum terhadap kasus pencemaran nama
baik? Penelitian ini adalah kepustakaan atau disebut juga library research,
yaitu penggunaan data-data literatur yang berkaitan dengan tema pencemaran nama
baik dengan memanfaatkan tekhnologi Informasi.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
normatif, yaitu menganalisa data dengan menggunakan pendekatan melalui dalil
atau kaidah hukum Islam yang menjadi pedoman perilaku manusia. Setelah data
terkumpul, lalu data direduksi, disajikan dan diverifikasi, lalu dianalisis
secara deskriptik analitik, dengan proses berpikir deduktif dan induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa :
pertama, dikatakan bahwa Islam sangat
mendukung kebebasan dalam memanfaatkan tekhnologi informasi, namun tetap pada
jalur yang sudah ditetapkan al-Qur'an dan Hadis. Bukan kebebasan yang
kebablasan. Pengesahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan
kepanjangan tangan Hukum Islam. Artinya apa yang dilarang dalam Pasal 27 ayat 3
UU Informasi dan Transaksi ELektronik adalah hal yang baik untuk mencegah
semakin semaraknya pencemaran nama baik di masyarakat;
kedua, larangan dalam Pasal 27 ayat 3 dapat
dikatakan tindak pidana, karena melihat dampaknya dapat merusak agama, nyawa,
keturunan dan sebagainya.
Adapun
sanksinya menurut kepastian hukum Islam seperti apa yang telah ditetapkan dalam
UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang tertuang dalam Pasal 45 ayat 1 bahwa
hukuman bagi pelaku tindak pidananya dapat diancam dengan hukuman penjara
paling lama 6 tahun dan denda 1 milyar rupiah, Sedangkan penegakan hukum tindak
pidana pencemaran nama baik dan sanksinya dalam pandangan hukum Islam
diqiyaskan dengan kajahatan berbagai macam tindak pidana, bisa dihukum dengan
hukuman, qazaf (menuduh zina), berita bohong.
Sesuai
dengan Al-Qur'an yaitu surat an-Nur ayat 11. Dengan demikian kepastian hukum
dalam hukum Islam terhadap pelaku tindak pidana pencemaran nama baik dapat
dikenakan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati dan sanksi moral yakni
tidak diterima kesaksiannya seumur hidup. Serta tetap dengan mengedepankan
asas-asas hukum dan keadilan yang beradab.
1.2.
Pandangan pencemaran nama baik menurut kamus besar bahasa Indonesia
pencemaran
nama baik juga dapat di golongkan dalam Fitnah, fitnah dalam kamus besar bahasa
Indonesia berarti perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yg
disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik,
merugikan kehormatan orang). Dan bila digunakan dalam kata kerja berarti
mempunyai makna menjelekkan nama orang (menodai nama baik, merugikan kehormatan
dan sebagainya).
Pengaturan
fitnah dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dari
penjelasan di atas sudah barang tentu bahwa fitnah adalah termasuk tindakan
pidana. Yang berlaku hukum bagi siapa yang melakukannya.
Tindak
pidana fitnah juga sudah ada dan juga diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHAP). Disebutkan dalam BAB XVI Penghinaan pasal 311 (1): “Jika yang
melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk
membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui,
maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat
tahun”.
Juga
disebutkan dalam pasal 317 (1): “Barang siapa dengan sengaja mengajukan
pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun
untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya
terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun”.
Pengaduan
fitnah seperti dalam rumusan di atas, jika dirinci maka terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Unsur objektif:
a.
Perbuatan:
-
Mengajukan pengaduan
-
Mengajukan pemberitahuan.
b.
Caranya:
-
Tertulis
-
Dituliskan
c.
Objeknya tentang seseorang.
d.
Yang isinya palsu.
e.
Kepada penguasa.
f.
Sehingga kehormatannya atau nama baiknya
terserang.
2.
Unsur subjektif: Dengan sengaja
Ada dua bentuk tingkah laku dalam pengaduan fitnah,
ialah mengadukan pengaduan atau mengadukan, dan mengajukan pemberitahuan atau
melaporkan. Kedua perbutaan ini mempunyai sifat yang sama, ialah menyampaikan
informasi kepada penguasa tentang seseorang yang isinya palsu.
Perbedaan antara dua perbuatan itu diadakan berhubung
dengan sistem KUHP yang membedakan antara tindak pidana aduan dan tindak pidana
bukan aduan yang buasa disebut tindak pidana biasa.
Unsur tertulis dan dituliskan, merupakan dua cara mengajukan pengaduan atau pemberitahuan itu. Secara tertulis maksudnya si pembuat yang mengadukan atau melaporkan dengan membuat tulisan (surat), ditanda tanganinya kemudian disampaikan kepada pejabat/penguasa.
Unsur tertulis dan dituliskan, merupakan dua cara mengajukan pengaduan atau pemberitahuan itu. Secara tertulis maksudnya si pembuat yang mengadukan atau melaporkan dengan membuat tulisan (surat), ditanda tanganinya kemudian disampaikan kepada pejabat/penguasa.
Mengajukan secara tertulis ini tidak saja berarti
menyampaikan langsung oleh si pembuat kepada penguasa, tetapi bisa juga
disampaikan dengan perantaraan kurir atau melalui kantor pos, atau
telegram, bahkan juga dapat melalui pesan SMS atau mengirimkan rekaman kaset.
Sedangkan yang dimaksud menyampaikan dengan
dituliskan, ialah si pembuat datang menghadap kepada penguasa yang berwenang.
Kemudian menyampaikan pengaduan atau pemberitahuan tentang seseorang yang
disertai permintaan pada pejabat tersebut agar supaya isi pengaduan atau
pemberitahuannya dituliskan.
Inisiatif untuk dituliskannya pengaduan atau
pemberitahuan harus dari si pembuat, bukan dari pejabatnya.
Tentang apa yang diadukan atau diberitahukan adalah mengenai seseorang tertentu, bukan perbuatan seseorang, dan isinya adalah palsu. Jadi yang palsu atau tidak benar bukanlah perbuatan yang dilaporkan, tetapi orangnya yang dilaporkan atau diadukan itu yang palsu.
Tentang apa yang diadukan atau diberitahukan adalah mengenai seseorang tertentu, bukan perbuatan seseorang, dan isinya adalah palsu. Jadi yang palsu atau tidak benar bukanlah perbuatan yang dilaporkan, tetapi orangnya yang dilaporkan atau diadukan itu yang palsu.
Misalnya ada pencurian, si A mengajukan pelaporan
tentang adanya pencurian dirumahnya dan dia menyebut si B sebagai pembuatnya,
padahal diketahuinya bukan si B, ini palsu karena yang benar adalah si C.
Tentu saja kehormatan atau nama baik si B tercemarkan
karena itu. Bisa saja terjadi bahwa pencurian yang dilaporkan memang
benar-benar ada.
Perbuatan apa yang dilaporkan itu adalah segala perbuatan yang memalukan orang, maka pejabat yang menerima pengaduan atau pemberitahuan itu tidaklah harus pejabat kepolisian, atau pejabat kejaksaan. Boleh pejabat administratif, asalkan pejabat administratif tersebut oleh aturan atau kebiasaan umum diperkenankan atau berwenang untuk menerima pengaduan atau pemberitahuan serta berwenang menanganinya Misalnya pejabat Kepala Desa.
Perbuatan apa yang dilaporkan itu adalah segala perbuatan yang memalukan orang, maka pejabat yang menerima pengaduan atau pemberitahuan itu tidaklah harus pejabat kepolisian, atau pejabat kejaksaan. Boleh pejabat administratif, asalkan pejabat administratif tersebut oleh aturan atau kebiasaan umum diperkenankan atau berwenang untuk menerima pengaduan atau pemberitahuan serta berwenang menanganinya Misalnya pejabat Kepala Desa.
Pandangan Islam Tentang Tindak Pidana
Fitnah
Islam mengajarkan kepada manusia untuk saling berbuat baik dengan saling tolong menolong, saling memahami, saling menanggung, dan saling toleransi. Dengan melakukan perbuatan tersebut maka akan tercipta suasana masyarakat yang tentram dan damai karena tidak ada penyait hati yang melekat pada mereka seperti hasad, iri, dengki dan lain sebagainya.
Islam mengajarkan kepada manusia untuk saling berbuat baik dengan saling tolong menolong, saling memahami, saling menanggung, dan saling toleransi. Dengan melakukan perbuatan tersebut maka akan tercipta suasana masyarakat yang tentram dan damai karena tidak ada penyait hati yang melekat pada mereka seperti hasad, iri, dengki dan lain sebagainya.
Allah SWT menjelaskan bahwa fitnah itu lebih besar
bahayanya dari pada pembunuhan, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 191:
وَاقْتُلُوهُمْ
حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ
أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلاَ تُقَاتِلُوهُمْ عِندَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى
يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِن قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاء
الْكَافِرِينَ
“Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat
mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari
pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika
mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat
itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir”.
Juga dalam surat Al-Baqarah ayat 217:
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَن
سَبِيلِ اللّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ
مِنْهُ أَكْبَرُ عِندَ اللّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلاَ
يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ
اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُوْلَـئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَـئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan
mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah . Dan
berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak
henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari
agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad
di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya”.
Dalam
kaitannya dengan perkara fitnah maka dalam islam terdapat juga tindak pidana
yang mempunyai unsur fitnah (tuduhan palsu) yaitu al-qadzfu.
Qadzaf secara harfiah berarti melemparkan sesuatu. Dan dalam kamus al-Munawir dalam bentuk fi’il (kata kerja) berarti memfitnah sedangkan dalam bentuk masdar (objek) berarti perbuatan fitnah atau pemfitnahan.
Qadzaf secara harfiah berarti melemparkan sesuatu. Dan dalam kamus al-Munawir dalam bentuk fi’il (kata kerja) berarti memfitnah sedangkan dalam bentuk masdar (objek) berarti perbuatan fitnah atau pemfitnahan.
Istilah
qadzaf dalam hukum islam adalah tuduhan terhadap seseorang bahwa tertuduh telah
melakukan perbuatan zina. Menurut para ulama ada bebrapa pendapat:
1) Hanafiyah dan Hanabilah: Menuduh berbuat zina
2) Syafiiyah: Menuduh berbuat zina diiringi dengan
1) Hanafiyah dan Hanabilah: Menuduh berbuat zina
2) Syafiiyah: Menuduh berbuat zina diiringi dengan
ejekan,
hinaan, atau celaan (fi ma’radzit ta’ir)
3) Malikiyah: Menuduh seseorang (muslim dan merdeka) tidak memiliki garis keturunan (nasab) dari ayahnya atau kakeknya, dan atau menuduh berbuat zina.
3) Malikiyah: Menuduh seseorang (muslim dan merdeka) tidak memiliki garis keturunan (nasab) dari ayahnya atau kakeknya, dan atau menuduh berbuat zina.
Dasar Hukum
Penuduhan (al-Qadzfu)
1. Tentang larangan menuduh dan sanksinya. QS. An-Nuur [24]: 4
1. Tentang larangan menuduh dan sanksinya. QS. An-Nuur [24]: 4
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَداً
وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.
2. Perintah mendatangkan saksi. QS. An-Nuur [24]: 13
لَوْلَا
جَاؤُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاء
فَأُوْلَئِكَ عِندَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ
“Mengapa
mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita
bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka
itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta”.
3. Sanksi penuduh di akhirat. QS. An-Nuur [24]: 19
إِنَّ
الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di
akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui”.
Juga sabda Rasulullah saw:
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ
الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ
وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ
الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
“Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a bahwasanya: Rasulullah saw bersabda: Jauhilah tujuh
perkara yang bisa membinasakan kamu, yaitu menyebabkan kamu masuk neraka atau
dilaknat Allah. Para sahabatnya berkata: Wahai Rasulullah! Apakah tujuh perkara
itu? Rasulullah saw bersabda: Menyekutukan Allah, melakukan perbuatan sihir,
membunuh manusia yang diharamkan oleh Allah melainkan dengan hak, memakan harta
anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan perang, dan memfitnah
perempuan-perempuan yang baik melakukan perbuatan zina”. (HR. Bukhari).
Berdasarkam
garis hukum di dalam Al-Quran yang diungkapkan di atas, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan tidak mendatangkan empat saksi, maka sanksi hukum baginya delapan puluh kali dera.
2. Janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang fasik.
1. Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan tidak mendatangkan empat saksi, maka sanksi hukum baginya delapan puluh kali dera.
2. Janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang fasik.
Kesimpulan :
Ø
Keduanya baik dalam hukum positif (KUHP) maupaun dalam pandangan hukum islam
(fikih jinayah) sama-sama melarang perbuatan fitnah (tuduhan palsu), karena
akan menimbulkan pencemaran nama baik atau menurunkankan kehormatan seseorang
sehingga seseorang itu dianggap hina dan rendah kedudukannya.
Ø
Dari segi sanksi, bahwa dalam islam hukuman cambuk dan tidak diterima
kesaksiannya untuk selama-lamanya lebih menimbulkan efek jera dibandingkan
dengan sanksi yang terdapat dalam hukum positif yaitu hanya dipenjara paling
lama 4 tahun.
Ø
Bahwa dalam hukum positif tidak mensyaratkan empat saksi dalam perkara
pengaduan, sedangkan dalam hukum islam jelas harus mendatangkan empat saksi
dalam perkara pengaduan.
1.3.Pandangan
Pencemaran nama baik secara Umum
Secara umum pencemaran nama baik adalah tindakan
mencermarkan nama baik seseorang dengan cara menyatakan sesuatu baik
melaui lisan ataupun tulisan.
pencemaran nama baik terbagi kedalam beberapa
bagian :
a.
Secara lisan, yaitu pencemaran nama baik yang diucapkan
b. Secara tertulis, yaitu pencemaran yang dilakukan melalui
tulisan
Pencemaran
nama baik merupakan salah satu bentuk khusus dari perbuatan melawan hukum.
Namun ada pula yang mengatakan perbuatan melawan hukum ini disebut sebagai
penghinaan.
Pencemaran nama baik dikenal juga
dengan istilah penghinaan, yang pada dasarnya adalah menyerang nama baik dan
kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual sehingga orang itu merasa
dirugikan.
Kehormatan dan nama baik memiliki
pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lain, karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama
baiknya tercemar, demikianjuga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan
kehormatan seseorang dapat tercemar.
Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara
kehormatan atau nama baik sudah cukup dijadikan alasan untuk menuduh seseorang
telah melakukan penghinaan.
Dalam pencemaran nama baik, terdapat 3 catatan penting didalamnya, yakni
:
Pertama, delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang bersifat
subyektif yang artinya penilaian terhadap pencemaran sangat bergantung pada
pihak yang diserang nama baiknya. Oleh karenanya, delik dalam pencemaran
merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh pihak yang berwenang jika
ada pengaduan dari korban pencemaran.
Kedua, pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran.
Artinya, substansi yang berisi pencemaran disebarluaskan kepada umum atau
dilakukan di depan umum oleh pelaku.
Ketiga, orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh suatu
hal yang dianggap menyerang nama baik seseorang atau pihak lain harus diberi
kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu.
Bagi bangsa indonesia, pasal pencemaran nama baik dianggap sesuai dengan
karakter bangsa ini yang menjunjung tinggi adat dan budaya timur, pencemaran
nama baik dianggap melanggar norma sopan santun bahkan bisa melanggar norma
agama jika yang dituduhkan mengandung unsur fitnah.
Pencemaran nama baik sangat erat
kaitannya dangan suatu kata penghinaan dimana penghinaan itu sendiri memiliki
pengertian perbuatan menyerang nama baik dan kehormatan seseorang. Sasaran
dalam pencemaran nama baik pun dapat digolongkan menjadi :
a) Terhadap pribadi perorangan
b) Terhadap kelompok atau golongan
c) Terhadap suatu agama
d) Terhadap orang yang sudah meninggal
e) Terhadap para pejabat yang meliputi
pegawai negeri,
kepala negara atau wakilnya
Perlu
diketahui bahwa pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan secara lisan (Pasal 310 ayat KUHP) maupun dengan tulisan
atau gambar (Pasal 310 ayat KUHP).
Lebih lanjut, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal
mengatakan bahwa penghinaan itu sendiri ada 6 macam, yaitu:
1.
Menista (Pasal 310 ayat [1] KUHP);
2.
Menista dengan surat (Pasal 310 ayat [2] KUHP);
3.
Memfitnah (Pasal 311 KUHP);
4.
Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP);
5.
Mengadu secara memfitnah (Pasal 317 KUHP); dan
6.
Tuduhan secara memfitnah (Pasal 318 KUHP).
Dalam hal
pencemaran nama baik tersebut dilakukan secara lisan sebagaimana terdapat dalam
Pasal 310 ayat (1) KUHP, menurut R.
Soesilo, supaya dapat dihukum maka pencemaran nama baik itu harus
dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu
dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Oleh karena
itu, tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa barang bukti berbentuk surat
diperlukan dalam membuktikan pencemaran nama baik secara lisan. Yang terpenting
adalah bahwa tuduhan tersebut dilakukan di depan orang banyak.
Ini berbeda
dengan pencemaran nama baik dengan tulisan, dimana media yang digunakan dalam
melakukan pencemaran nama baik tersebut dapat berupa tulisan (surat) atau
gambar. Dalam hal pencemaran nama baik dengan tulisan, maka surat atau gambar
tersebut dibutuhkan sebagai bukti adanya pencemaran nama baik tersebut.
Anda juga
harus membedakan antara barang bukti
dan alat bukti. Yang termasuk ke
dalam barang bukti sesuai Pasal 39 ayat
(1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah:
1.
benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2.
benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya;
3.
benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
4. benda
yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5. benda
lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Sedangkan, yang termasuk alat bukti
yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP)
adalah:
1.
Keterangan saksi;
2.
Keterangan ahli;
3.
Surat;
4.
Petunjuk;
5.
Keterangan terdakwa.
dalam
hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan secara lisan, Anda dapat
membuktikannya dengan keterangan saksi. Keterangan saksi yang mempunyai nilai
sebagai alat bukti adalah keterangan saksi yang memenuhi kriteria keterangan
saksi sebagaimana terdapat dalam Pasal
1 angka 27 KUHAP, yaitu:
1. Yang
saksi lihati sendiri;
2. Saksi
dengar sendiri;
3. Dan saksi alami sendiri;
4. Serta dengan
menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
Akan tetapi, Anda harus membuktikan
dengan 2 (dua) alat bukti sebagaimana diharuskan oleh Pasal 183 KUHAP:
“Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Penjelasan
mengenai yang dimaksud dengan “dua alat bukti yang sah” dapat kita lihat dalam
buku M. Yahya Harahap yang
berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 283-284), yang
mengatakan bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan:
1.
Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli
atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti
tersebut harus “saling bersesuaian”, “saling menguatkan”, dan tidak saling
bertentangan antara satu dengan yang lain;
2.
Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang
saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara
keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi
dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian.
Sedangkan, dalam hal pencemaran nama
baik tersebut dilakukan dengan tulisan, Anda dapat menggunakan surat tersebut
sebagai barang bukti, yaitu
benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya. Dapat juga digunakan sebagai alat bukti, yaitu
termasuk alat bukti surat lain
(yaitu surat yang bukan termasuk berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh
atau di hadapan pejabat umum yang berwenang, surat yang dibuat menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan, surat keterangan dari seorang ahli),
sebagaimana terdapat dalam Pasal 187
huruf d KUHAP. Dengan syarat bahwa “surat lain” tersebut hanya dapat
berlaku jika ada hubungannya dengan alat pembuktian yang lain.
Jadi, barang
bukti berbentuk surat bukan suatu keharusan. Hal itu bergantung kepada
pencemaran nama baik seperti apa yang dilakukan oleh orang tersebut.
1.4 Pandangan Pencemaran Nama Baik Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Meskipun
masih dalam suatu proses perdebatan, ketentuan-ketentuan tentang
penghinaan yang terdapat dalam Bab XVI, Buku II KUHP dianggap masih
sangat relevan. Penghinaan atau defamation secara
harfiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan
kehormatan seseorang.
Perkembangan
awal pengaturan tentang hal ini telah dikenal sejak era 500 SM pada rumusan “twelve
tables” di era Romawi kuno. Akan tetapi, pada saat itu ketentuan ini
seringkali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan otoritarian dengan
hukuman-hukuman yang sangat kejam. Hingga, pada era Kekaisaran Agustinus (63
SM) peradilan kasus defamation (lebih sering disebut libelli
famosi) terus meningkat secara signifikan. Dan, penggunaan aturan ini
kemudian secara turun-temurun diwariskan pada beberapa sistem hukum di
negara-negara lain, termasuk Inggris dalam lingkungan Common Law, serta
Prancis sebagai salah satu negara penting pada sistem hukum Eropa Kontinental
(Civil Law).
Di
Indonesia, pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dominan
merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor Netherland Indie yang
pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (W.v.S). KUHP Belanda yang diberlakukan
sejak 1 September 1886 itu pun merupakan kitab undang-undang yang cenderung
meniru pandangan Code Penal-Prancis yang sangat banyak dipengaruhi
sistem hukum Romawi. Secara sederhana, dapat dikatakan terdapat sebuah
jembatan sejarah antara ketentuan tentang penghinaan yang diatur dalam KUHP
Indonesia dengan perkembangan historis awal tentang libelli famosi di masa
Romawi Kuno.
Dalam KUHP
pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap
seseorang yang terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310,
Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap
perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310,
Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP.
R. Soesilo
menerangkan apa yang dimaksud dengan “menghina”, yaitu “menyerang kehormatan
dan nama baik seseorang” dimana yang diserang biasanya merasa “malu”.
“Kehormatan” yang diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang “nama
baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil.
Menurut R.
Soesilo, penghinaan dalam KUHP ada 6 macam yaitu :
1. menista
secara lisan (smaad);
2.
menista dengan surat/tertulis (smaadschrift);
3.
memfitnah (laster);
4.
penghinaan ringan (eenvoudige belediging);
5.
mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht);
6. tuduhan secara memfitnah
(lasterlijke
verdachtmaking).
Semua
penghinaan di atas hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang
menderita / dinista / dihina
(dalam hukum pidana dikenal dengan istilah delik aduan), kecuali bila
penghinaan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negeri pada waktu sedang
menjalankan pekerjaannya secara sah dimana untuk hal ini pada dasarnya tidak
diperlukan atau dibutuhak aduan dari korbannya.
Obyek dari
penghinaan tersebut harus manusia perseorangan, maksudnya bukan instansi
pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, segolongan penduduk dan
lain-lain. Bila obyeknya bukan perseorangan, maka dikenakan pasal-pasal
khusus seperti : Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP (penghinaan pada Presiden atau
Wakil Presiden) yang telah dihapuskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, serta
Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP (penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di
Indonesia).
Berdasarkan
Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat dipidana harus dilakukan
dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu”,
dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Perbuatan yang
dituduhkan tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri,
menggelapkan, berzinah, dan sebagainya. Perbuatan tersebut cukup
perbuatan biasa, yang sudah tentu merupakan perbuatan yang memalukan,
misalnya menuduh bahwa seseorang telah berselingkuh. Dalam hal ini bukan
perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi yang
berkepentingan bila diumumkan. Tuduhan tersebut harus dilakukan dengan lisan,
apabila dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka penghinaan itu
dinamakan “menista/menghina dengan surat (secara tertulis)”, dan dapat
dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Penghinaan
menurut Pasal 310 ayat (1) dan (2) diatas dapat dikecualikan (tidak dapat
dihukum) apabila tuduhan atau penghinaan itu dilakukan untuk membela
“kepentingan umum” atau terpaksa untuk “membela diri”. Patut atau tidaknya pembelaan
kepentingan umum dan pembelaan diri yang diajukan oleh tersangka terletak pada
pertimbangan hakim.
Untuk
kejahatan memfitnah menurut Pasal 311 KUHP, tidak perlu dilakukan dimuka umum,
sudah cukup bila dapat dibuktikan bahwa ada maksud untuk menyiarkan tuduhan
tersebut. Jika penghinaan itu berupa suatu pengaduan yang berisi fitnah yang
ditujukan kepada Pembesar/pejabat yang berwajib, maka dapat dikenakan pidana
Pasal 317 KUHP.
Menurut
Prof. Muladi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro bahwa yang bisa
melaporkan pencemaran nama baik seperti yang tercantum dalam Pasal 310 dan 311
KUHP adalah pihak yang diserang kehormatannya, direndahkan martabatnya,
sehingga namanya menjadi tercela di depan umum. Namun, tetap ada pembelaan bagi
pihak yang dituduh melakukan pencemaran nama baik apabila menyampaikan
suatu informasi ke publik. Pertama, penyampaian informasi itu ditujukan Kedua,
untuk membela diri. Ketiga, untuk mengungkapkan kebenaran. Sehingga orang yang
menyampaikan informasi, secaralisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk
membuktikan bahwa tujuannya itu benar. Kalau tidak bisa membuktikan
kebenarannya, itu namanya penistaan atau fitnah.
Seperti yang
telah diuraikan sebelumnya, Pasal-pasal dalam Bab XVI Buku I KUHP tersebut
hanya mengatur penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap seseorang
(perseorangan/individu), sedangkan penghinaan atau pencemaran nama baik
terhadap instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, atau segolongan
penduduk, maka diatur dalam pasal-pasal khusus, yaitu :
1.
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP),
pasal-pasal ini telah dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Mahkamah Konstitusi;
2.
Penghinaan terhadap kepala negara asing (Pasal 142 dan Pasal 143 KUHP);
3. Penghinaan
terhadap segolongan penduduk/kelompok/organisasi (Pasal 156 dan Pasal 157
KUHP);
4. Penghinaan
terhadap pegawai agama (Pasal 177 KUHP);
5.
Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia (Pasal 207 dan Pasal 208
KUHP).
Selain sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), berkaitan dengan “pencemaran nama baik” juga diatur dalam UU No.
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Dalam
UU No. 32 Tahun 2002, Pasal 36 ayat (5) menyebutkan bahwa :
“Isi siaran
dilarang :
a.
bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau
bohong;
b.
menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian,
penyalahgunaan
narkotika dan obat terlarang; atau
c.
mempertentangkan suku, agama, ras, dan
antargolongan.”
Sedangkan
dalam UU No. 11 Tahun 2008, Pasal 27 ayat (3) yang menyebutkan :
“Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
B.
DASAR HUKUM
UU ITE (Informasi
dan Transaksi Elektronik) No. 11
tahun 2008
·
Pasal 27
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan perjudian.
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
·
Pasal 28
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA).
·
Pasal 36
Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
perbuatan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 sampai pasal 34 yang mengakibatkan
kerugian bagi orang lain.
·
Pasal 51
Setiap orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 36
dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan atau denda paling
banyak
Rp12.000.000.000,00(dua belas miliar rupiah)
·
Pasal 45
1.
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2.
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)
Selain
didalam UU ITE No. 11 tahun 2008, didalam KUHP pun terdapat pasal – pasal yang
mengatur tentang pencemaran nama baik, berikut pasal – pasal tersebut
·
Pasal 310 :
1. Barang
siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan sengaja
meyerang kehormatan atau nama baik sesorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang
maksudnya terang supaya diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
2. Jika
hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan
atau ditempel dimuka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3.
Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela
diri.
Hubungan UU
ITE No.11(pasal pencemaran nama baik) dengan HAM dan tujuan negara RI.
Masalah
muncul ketika banyak yang menginginkan UU ITE No. 11 tahun 2008 tersebut di
revisi, dikarenakan mereka menganggap dengan adanya UU tersebut akan membuat
kebebasan menyatakan pendapat akan tersisihkan dan juga tidak sesuai dengan
tujuan negara RI, berkaitan dengan hal tersebut, kami akan mengulas tentang
keterkaitan UU ITE No. 11 tahun 2008(terutama pasal pencemaran nama baik)
dengan HAM dalam hal ini kebebasan berpendapat dan tujuan RI.
Hal pertama
yang menjadi masalah yaitu apakah tujuan dibuatnya UU ITE No. 11 tahun 2008
sejalan dengan tujuan negara RI,
Tujuan dari
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik menurut UU ITE No. 11
Tahun 2008 tercantum pada Pasal 4, yaitu:
Mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
Mengembangkan
perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat;
Meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
Membuka
kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan
kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal
mungkin dan bertanggung jawab; dan Memberikan
rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara
Teknologi Informasi.
C. PENGERTIAN DAN UNSUR TINDAK PIDANA
Setelah diketahui berbagai istilah yang dapat digunakan untuk menunjuk pada istilah Strafbaarfeit atau tindak pidana berikut ini akan kita bahas tentang Tidndak pidana.
Sebagai salah satu masalah essensial dalam hukum pidana, masalah tindak pidana perlu diberikan penjelasan yang memadai. Penjelasan ini dirasa sangat Urgen oleh karena penjelasan tentang masalah ini akan memberikan pemahaman kapan suatu perbuatan dapat dikwalisifikasikan sebagai perbuatan / tindak pidana dan kapan tidak. Dengan demikian dapat diketahui dimana batasan-batasan suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan tindak pidana.
Secara
doctrinal dalam hokum pidana dikenal adanya dua pandangan tentang perbuatan
pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Untuk mengetahui
bagaimana dua pandangan tersebut memberikan penjelasan tentang apa yang
dimaksud perbuatan / tindak pidana, dibawa ini akan diuraikan tentang batasan /
pengertian tindak pidana yang diberikan oleh dua pandangan dimaksud :
2.1.PANDANGAN
MONISTIS :
Pandangan Monistis adalah suatu
pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya
merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman,
bahwa didalam pengertian perbuatan/tindak pidana sudah tercakup didalamnya
perbuatan yang dilarang (Criminal act) dan pertanggung-jawaban pidana /
kesalahan ( Criminal responbility).
Ada beberapa batasan / pengertian tidak pidana dari para sarjana yang menganut pandangan Monistis :
Ada beberapa batasan / pengertian tidak pidana dari para sarjana yang menganut pandangan Monistis :
1. D.
SIMON :
Menurut D. Simon, tindak pidana adalah
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakanya dan yang
oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Dengan batasan seperti ini, maka menurut D. Simon, untuk adanya suatu tindak
pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif ( berbuat) maupun perbuatan Negatif ( tidak beruat )
2. diancam dengan pidana ;
3. melawan hukum;
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif ( berbuat) maupun perbuatan Negatif ( tidak beruat )
2. diancam dengan pidana ;
3. melawan hukum;
4. dilakukan dengan kesalahan;
5. oleh orang yang mampu
5. oleh orang yang mampu
bertanggung jawab.
Dengan penjelasan seperti tersebut
diatas, maka tersimpul, bahwa keseluruhan syarat adanya pidana teah melekat
pada perbuatan pidana. D. Simon tidak memisahkan antara criminal act dan
Criminal responbility. Apabila diikuti pandangan ini maka ada seseorang yang
melakukan pembunuhan Eks Pasal 338 KUHP, tetapi kemudian ternyata orang yang
melakukan itu adalah orang yang tidak mampu beranggungjawab, misalanya karena
orang tersebut Gila, maka dalam hal ini tidak dapat dikatakan telah terjadi
tindak pidana. Secara gampang bisa dijelaskan mengapa peristiwa tersebut tidak
dapat disebut tidak pidana, sebab unsur-unbsur dari tindak pidana tersebut
tidak terpenuhi, yaitu unsur orang ( subyek hukum ) yang mampu
bertanggungjawab. Oleh karena tidak ada tindak pidana, maka tidak pula ada
pidana ( pemidanaan ).
2. J.
BAUMAN :
Menurut J. Bauman, perbuatan / tindak
pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan
dilakukan dengan kesalahan.
3. WIRYONO
PROJODIKORO.
Menurut Wiryono Projodikoro, perbuatan/tindak
pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai pidana.
2.2.
PANDANGAN DUALISTIS :
Berbeda dengan pandangan Monistis yang
melihat kesalahan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana,
pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
pidana.
Apabila menurut pandangan Monistis dalam pengertian tinmdak pidana sudah tercakup di dalamnya baik Criminal Act maupun Criminal responsibility, menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup Criminal act , dan Criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan / pertanggungjawab pidana.
Apabila menurut pandangan Monistis dalam pengertian tinmdak pidana sudah tercakup di dalamnya baik Criminal Act maupun Criminal responsibility, menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup Criminal act , dan Criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan / pertanggungjawab pidana.
Untuk
memberikan gambaran tentang bagaimana pandangan dualistis mendefinisikan apa
yang dimaksud perbuatan / tindak pidana, dibawa ini akan kita bahas mengenai
batasan-batasan tentang tindak pidana, yang diberikan oleh para sarjana yang
menganut pandangan dualistis :
1. POMPE
:
Menurut Pompe, dalam hukum positif
Strafbaarfeit tidak lain adalah feit ( tindakan, pen ), yang diancam pidana
dalam ketentuan undang-undang. Menurut Pompe, dalam hukum positif, sifat
melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana .
2. MOELYATNO
:
Menurut Moelyatno, tperbuatan pidana
adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan
tersebut, Dengan penjelan untuk terjadinya perbuatan / tindak pidana harus
dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Adanya
perbuatan ( manusia );
2.
yang memenuhi rumusana dalam
undang-undang ( hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya
pasal 1 (1) KUHP ) ;
3.
bersifat melawan hukum ( hal ini
merupakan syarat materiil, terkait dengan ikutnya ajaran sifat melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang Negatif ).
Dengan
difinisi / pengertian, perbuatan / tindak pidana tersebut diatas, dapat diambil
kesimpula, bahwa dalam ppengertian tentang tindak pidana tidak tercakkup
pertanggungjawaban pidana (Crimnal responsibility ),
namun
demikian, Moelyatno juga menegaskan, bahwa untuk adanya pidana tidak cukup
hanya dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang
yang melakukan perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau tidak. Jadi peristiwanya
adalah tindak pidana, tetapi apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu
benar-benar dipidana atau tidak, akan dilihat bagaimana keadaan bathin orang
itu dan bagaimana hubungan bathin antaraperbuatan yang terjadi dengan orang
itu. Apabila perbuatan yang terjadi itu dapat dicelakan kepada orang itu, yang
berarti dalam hal ini ada kesalahan dalam diri orang itu, maka orang itu dapat
dijatuhi pidana, demikian sebaliknya.
Setelah
diketahui dua pandangan tentang perbuatan pidana yaitu pandangan Monistis dan
pandangan dualistis, berikut ini akan kita bahas seberapa jauh Urgensi
pembedaan itu dalam hukum pidana.
Apabila
dikaitkan dengan syarat adanya pidana atau syarat penjatuhan pidana, kedua
pandangan tersebut diatas sebenarnya tidak mempunyai perbedaab yang mendasar.
Dari kedua pandangan tersebut sama-sama mempersyaratkan, bahwa untuk adanya
pidana harus ada perbuatan / tindak pidana ( Criminal act ) dan
pertanggungjawaban pidana ( Criminal responsibility ).
Yang
membedakan adalah bahwa pandangan Monistis keseluruhan syarat untuk adanya
pidana dianggap melekat pada perbuatan pidana olehkarena dalam pengertian
tindak pidana tercakup baik Criminal Act maupun Criminal responsibility,
sementara dalam pandangan dualistis keseluruahn syarat untuk adanya pidana tidak
melekat pada perbuatan pidana, olehkarena dalam pengertian tindak pidana hanya
mencakup Criminal act tidak mencakup Criminal responsibility. Ada pemisahan
antara perbuatan ( pidana ) dengan orang yang melakukan perbuatan ( pidana )
itu.
Secara
Teoritis adanya pembedaan dalam dua pandangan tersebut haruslah dicermati.
Secara Konseptual dua pandangan ini sama-sama dapat diikuti dalam memberikan
penjelasan tentang perbuatan pidana, tetapi apabila harus diikuti salah satu
pandangan, maka juga harus diikuti dan dipahami secara konsisten.
Apabila diikuti pandangan Monistis, maka harus dipahami , bahwa dengan telah terjadinya tindak pidana, maka syarat untuk adanya pidana sudah dipenuhi. Sementara apabila diikitu pandangan dualistis, dengan telah terjadinya tidak pidana tidak berarti syarat untuk adanya pidana sudah dipenuhi, sebab menurut pandangan dualistis tindak pidana itu hanya menunjuk pada sifat dari perbuatan itu sendiri, yaitu sifat dilarangnya perbuatan, tidak mencakup kesalah, padahal syarat untuk adanya pidana mutlak harus ada kesalahan.
Apabila diikuti pandangan Monistis, maka harus dipahami , bahwa dengan telah terjadinya tindak pidana, maka syarat untuk adanya pidana sudah dipenuhi. Sementara apabila diikitu pandangan dualistis, dengan telah terjadinya tidak pidana tidak berarti syarat untuk adanya pidana sudah dipenuhi, sebab menurut pandangan dualistis tindak pidana itu hanya menunjuk pada sifat dari perbuatan itu sendiri, yaitu sifat dilarangnya perbuatan, tidak mencakup kesalah, padahal syarat untuk adanya pidana mutlak harus ada kesalahan.
Batasan
/ pengertian dari dua pandangan tersebut haruslah dipahami oleh semua praktisi
hukum, karena tanpa memahami dari kedua pandangan tersebut yaitu pandangan
Monistis dan pandangan dualistis, akan mengantarkan kita kedalam “kerancuan
secara sitematis ” dalam memahami suatu tindak pidana, yang pada gilirannya
akan menghasilkan pemahaman dan kostruksi piker yang salah dalam memahami
tindak pidana. Oleh karenanya, pemahaman terhadap perbedaan dua pandangan tentang
tindak pidana tersebut patut menjadi perhatian bagi siapaun yang sedang
mempelajari batas pengertian tentang tindak pidana.
D. JENIS-JENIS / PENGGOLONGAN TINDAK PIDANA
Pada
Pembahasan yang
Diatas sudah saya jelaskan
bagian-bagian khusus atau ketentuan-ketentuan khusus yang memuat aturan-aturan
tentang perbuatan-perbuatan mana yang dapat dipidana serta menentukan ancaman
pidananya. Ketentuan-ketentuan ini terdapat baik dalam KUHP maupun diluar KUHP.
Dalam KUHP ketentuan ini terdapat dalam buku Ke-II tentang Kejahatan dan Buku –
III tentang pelanggaran.
Perbuatan
/ tindak pidana yang diatur dalam KUHP buku-II KUHP terdiri dari XXXII Bab dan
Buku ke- III terbagi menjadi IX Bab. Secara umum tindak pidana dapat dibedakan
kedalam beberapa pembagian.
3.1
Tindak pidana dimaksud dapat dibedakan secara
Kualitatif atas Kejahatan dan Pelanggaran :
1. KEJAHATAN
:
Secara doktrin Ketajahatan adalah
Rechtdelicht, yaitu perbuatan perbuatan yang ebrtentangan dengan kedailan,
terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau
tidak. sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan
ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan. Jenis tindak pidana ini jugasering disebut mala per se.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dukualisifikasikan sebagai Rechtdelicht dapat
disebut anatara lain pembunuhan, pencurian dan sebagainya.
2. PELANGGARAN :
2. PELANGGARAN :
Jenis tindak pidana ini disebut
Wetsdelicht, yaitu perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari
sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik.
Perbuatan-perbuatan ini baru disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat
oleh karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana. tindaka pidana ini
disebut juga mala qui prohibita. Perbuatan-perbuatan yang dapat
dikualisifikasikan sebagai sebagai wetsdelicht dapat disebut misalnya memarkir
mobil disebelah kanan jalan, berjalan dijalan raya disebelah kanan dan
sebagainya.
Dalam perkembangannya pembagian tindak
pidana secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran seperti tersebut diatas
tidak diterima. Penolakan terhadap pembagian tindak pidana secara kualitatif
tersebut bertolak dari kenyataan, bahwa ada juga kejahatan yang baru disadari
sebagai tindak pidana oleh masyarakat setelah dirumuskan dalam undang-undang
pidana. Dengan demikian tidak semua Kejahatan merupakan perbuatan yang
benar-benar telah dirasakan mnasyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan, terdapat juga pelanggaran yang memang benar-benar telah
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kedailan,
sekalipun perbuatan itu belum dirumuskan sebagai tindak pidana dalam
Undang-undang.
3.2. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak
pidana Formil dan tindak pidana Materiil :
1.
Tindak pidana Formil :
Adalah tindak pidana yang perumusannya
dititik beratkan pada Perbuatan yang dilarang, dengan kata lain dapat
dikatakan, bahwa tindak pidana Formil adalah tindak pidana yang telah dianggap
terjadi/selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam
undang-undang, tanpa mempersoalkan akibat. Tindak pidana yang dikualifikasikan
sebagai tindak pidana Formil dapat disebut misalnya pencurian sebagaimana
diatur dalam pasal 362 KUHP, penghasutan sebagaimana diatur dalam pasal 160
KUHP dan sebagainya.
2. Tindak
pidana Materiil :
Adalah tindak pidana yang perumusannya
dititik beratkan pada Akibat yang dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan,
bahwa tindak pidana Materiil adalah tindak pidana yang baru dianggap telah
terjadi , atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah
terjadi. Jadi jenis pidana ini mempersyaratkan terjadionya akibat untuk
selesainya. Apabila belum terjadi akibat yang dilarang, maka belum bisan
dikatakan selesai tindak pidana ini, yang terjadi baru percobaan . Sebagai
contoh misalnya tindak pidana pembunuhan pasal 338 KUHP dan tindak pidana
penipuan pasal 378 KUHP dan sebagainya.
Untuk memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil. berikut ini akan diberikan ilustrasi sebagai berikut :
Untuk memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil. berikut ini akan diberikan ilustrasi sebagai berikut :
Contah I :
” Terdorong keingan untuk memiliki
Sepeda motor, Sia A berniat mencuri Sepeda motor Tentangganya yang disimpan
diteras rumahnya. Ketika ada kesempatan, diambilah Sepeda motor milik tentangga
si A tersebut. Namun ketika Si A sudah mengambil dan membawa sepeda motor
tersebut, ia diketahui / kepergok pemiliknya ketika tetangganya sedang keluar
dari pintu rumahnya , seketika itu dimintalah kembali Sepeda motor miliknya itu
dari Si oleh A ”.
Contah II :
” Si A merasa dendam dengan temannya
yang bernama Gondang, karena Gondang sering mengejeknya, Karena merasa dendam
itu, ia berniat membunuh Gondang. Dengan membawa alat berupa sebilah pedang ,
menunggulah si A ditempat dimana Gondang akan lewat. Setelah lewat, dibacoklah
tubuh Gondang dengan sebilah pedang yang sudah dipersiapkan oleh Si A. Namun
bacokan itu tidak tepat sasaran, hingga bacokan itu hanya mengakibatkan Gondang
mengalami luka-luka saja, dan tidak sampai meninggal dunia”.
Pada contoh I tersebut telah memberikan
ilustrasi delik Formil. Meskipun
akibat dari pencurian itu belum terjadi, yaitu dimilikinya sepeda motor itu
oleh Si A, tetapi tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh Si A dianggap
sudah terjadi atau sudah selesai. Pencurian yang dilakukan oleh Si A dianggap
telah selesai, dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam tindak
pidana pencurian yaitu mengambil, tanpa perlu dipersoalkan akibat dari
pengambilan itu.
Pada contoh II diilustrasikan delik / tindak pidana Materiil. Dalam kasus ini sekalipun Si Gondang melakukan pembacokan dengan niat membunuh, tetapi karena akibat pembacokan itu belum terjadi, yaitu kematian, maka Si Gondang tidak dapat dikatakan telah melakukan pembunuhan. Dalam hal ini oleh karena akibat kematian atau hilangnya nyawa sebagai syarat mutlak dalam delik Materiil belum terjadi, maka juga berarti tindak pidana pembunuhan itu belum terjadi. Dalam kasus ini yang terjadi barulah percobaan pembunuhan.
Pada contoh II diilustrasikan delik / tindak pidana Materiil. Dalam kasus ini sekalipun Si Gondang melakukan pembacokan dengan niat membunuh, tetapi karena akibat pembacokan itu belum terjadi, yaitu kematian, maka Si Gondang tidak dapat dikatakan telah melakukan pembunuhan. Dalam hal ini oleh karena akibat kematian atau hilangnya nyawa sebagai syarat mutlak dalam delik Materiil belum terjadi, maka juga berarti tindak pidana pembunuhan itu belum terjadi. Dalam kasus ini yang terjadi barulah percobaan pembunuhan.
3.3. Tindak
pidana dapat dibedakan atas tindak pidana / delik Comissionis, delik Omisionis
dan delik Comisionis per omnisionis :
1. Delik Comissionis :
Adalah
delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang
dilarang misalnya melakukan pencurian, penipuan, pembunuhan dan sebagainya.
2.
Delik Omissionis :
Adalah
delik yang berupa pelanggaran terhadap pemerintah, yaitu berbuat sesuatu yang
diperintah misalnya tidak menghadap sebagai saksi dimuka persidangan Pengadilan
sebagaimana ditentukan dalam pasal 522 KUHP.
3
Delik Comissionis per Omissionis Comissa.
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat.
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat.
Contohnya : Seorang ibu yang membunuh
anaknya dengan cara tidak memberi air susu ( pelanggaran terhadap larangan
untuk membunuh sebagaimana diatur dalam pasal 338 atau 340 KUHP ).
3.4.Tindak pidana
dapat dibedakan atas tindak pidana Kesengajaan dan tindak pidana kealpaan (
delik dolus dan delik Culpa ):
1. Tindak
pidana kesengajaan / delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan.
Misalnya
: Tindak pidana pembunuhan dalam pasal 338 KUHP, tindak pidana pemalsuan mata
uang sebagaimana diatur dalam pasal 245 KUHP dan sebagainya.
2. Tindak
pidana kealpaan / delik culpa adalah delik-delik yang memuat unsur kealpaan.
Misalnya : Delik yang diatur dalam pasal
359 KUHP, yaitu karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang, delik yang
diatur dalam pasal 360 KUHP, yaitu karena kealpaannya mengakibatkan orang lain
luka dan sebagainya.
3.5.Tindak
pidana dapat dibedakan atas tindak pidana / delik tugal dan delik ganda :
1. Delik
Tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan satu kali perbuatan. Artinya
delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan.
Misalnya : Pencurian, penipuan,
pembunuhan dan lain sebagainya .
2. Delik
Ganda adalah delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan
beberapa kali perbuatan..
Misalnya
: Untuk dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana / delik dalam pasal 481
KUHP, maka penadahan itu harus terjadi dalam beberapa kali. Apabila hanya satu
kali terjadi, maka masuk kualifikasi pasal 480 KUHP ( Penadahan biasa ).
3.6.Tindak pidana
dapat dibedakan atas tindak pidana yang berlangsung terus dan tindak pidana
yang tidak berlangsung :
1. Tindak
pidana berlangsung terus adalah tindak pidana yang mempunyai ciri, bahwa keadaan
/ perbuatan yang terlarang itu berlangsung terus. Dengan demikian tindak
pidananya berlangsung terus menerus.
Misalnya
: Tindak pidana yang diatur dalam pasal 333 KUHP yaitu tindak pidana merampas
kemerdekaan orang. Dalam tindak pidana ini, selama orang yang dirampas
kemerdekaannya itu belum dilepas ( misalnya disekap didalam kamar ), maka selam
itu pula tindak pidana itu masih berlangsung.
2.
Tindak pidana yang tidak berlangsung
terus adalah yang mempunyai ciri, bahwa keadaan / perbuatan yang terlarang itu
tidak berlangsung terus. Jenis tindak pidana ini akan selesai setelah denmgan
telah dilakukannya perbuatan yang dilarang atau telah timbulnya akibat.
Misalnya : Tindak pidana pencurian, pembunuhan penganiayaan dan sebagainay.
Misalnya : Tindak pidana pencurian, pembunuhan penganiayaan dan sebagainay.
3.7.Tindak
pidana dapat dibedakan atas tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan :
1. Tindak
pidana Aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan apabila
ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan / korban. Dengan
demikian, apabila tidak ada pengaduan, terhadap tindak pidana tersebut tidak
boleh dilakukan penuntutan. Tindak pidana aduan dapat dibedakan dalam dua jenis
yaitu :
a. Tindak Pidana Aduan Absolut :
Adalah tindak pidana yang
mempersyaratkan secara absolute adanya pengaduan untuk penuntutannya.
Misalnya : Tindak pidana perzinaan dalam pasal 284 KUHP, tindak pidana pencemaran nama baik dalam pasal 310 KUHP dan sebagainya. Jenis tindak pidana ini menjadi aduan, karena sifat dari tindak pidananya relative.
Misalnya : Tindak pidana perzinaan dalam pasal 284 KUHP, tindak pidana pencemaran nama baik dalam pasal 310 KUHP dan sebagainya. Jenis tindak pidana ini menjadi aduan, karena sifat dari tindak pidananya relative.
b.Tindak
Pidana Aduan Relatif :
Pada prinsipnya jenis tindak pidana ini
bukanlah merupakan jenis tindak pidana aduan. Jadi dasarnya tindak pidana aduan
relative merupakan tindak pidana laporan ( tindak pidana biasa ) yang karena
dilakukan dalam lingkungan keluarga, kemudian menjadi tindak pidana aduan.
Misalnya : Tindak pidana pencurian dalam keluarga dalam pasal 367 KUHP, tindak pidana penggelapan dalam keluarga dalam pasal 367 KUHP dan sebagainya.
Misalnya : Tindak pidana pencurian dalam keluarga dalam pasal 367 KUHP, tindak pidana penggelapan dalam keluarga dalam pasal 367 KUHP dan sebagainya.
2. Tindak
pidana bukan aduan adalah tindak pidana yang tidak mempersyaratkan adanya
pengaduan untuk penuntutannya :
Misalnya
: Tindak pidana pembunuhan, pencurian penggelapan, perjudian dan sebagainya.
3.8 Tindak pidana Biasa ( dalam bentuk
pokok ) dan tindak pidana yang dikualisifikasikan :
1. Tindak pidana dalam bentuk pokok
adalah bentuk tindak pidana yang paling sederhana, tanpa adanya unsure yang
bersifat memberatkan.
2. Tindak pidana yang dikualifikasikan
yaitu tidak pidana dalam bentuk pokok yang ditambah dengan
adanya unsur
pemberatan, sehingga ancaman pidananya menjadi lebih berat.
Sebagai contoh dapat
dikemukakan sebagai berikut :
Tindak pidana dalam
pasal 362 KUHP merupakan bentuk pokok dari pencurian, sedangkan tindak pidana
dalam pasal 363 KUHP dan 365 KUHP merupakan bentuk kualifikasi / pemberatan
dari tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok ( pasal 362 KUHP ).
Tindak pidana dalam pasal 372 KUHP merupakan bentuk pokok dari penggelapan, sedangkan tindak pidana dalam pasal 374 KUHP dan 375 KUHP merupakan bentuk kualifikasi / pemberatan dari tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok ( pasal 372 KUHP ).
Tindak pidana dalam pasal 372 KUHP merupakan bentuk pokok dari penggelapan, sedangkan tindak pidana dalam pasal 374 KUHP dan 375 KUHP merupakan bentuk kualifikasi / pemberatan dari tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok ( pasal 372 KUHP ).
Ketika komputer
pertama diperkenalkan, kejahatan komputer hanya didefinisikan sebagai bentuk
kejahatan kerah putih yang dilakukan dalam suatu sistem komputer. Tatkala
aplikasi komputer meluas, terutama dalam telekomunikasi, kejahatan komputer
juga merebak dan mulai masuk pelanggaran, komputer digunakan secara langsung
atau tidak langsung dalam tindak kejahatan.
Definisi paling sesuai untuk kejahatan komputer saat ini adalah segala tindakan ilegal dengan menggunakan pengetahuan teknologi komputer untuk melakukan tindak kejahatan. Pencurian perangkat keras dan lunak (hardware dan software), manipulasi data, pengaksesan sistem komputer secara ilegal dengan telepon, dan mengubah program kesemuanya masuk definisi ini. Karakteristik lain dalam definisi ini adalah komputer dapat secara aktif atau pasif terlibat dalam suatu tindak kejahatan. Pengubahan data secara ilegal dalam suatu database, perusakan file, dan penggunaan program pendobrak (hacking) untuk mendapatkan akses ke dalam suatu sistem merupakan contoh-contoh keterlibatan komputer secara aktif. Sebaliknya, keterlibatan pasif berarti komputer menjadi alat dalam tindak kejahatan, tetapi tuduhan kejahatan komputer mungkin tidak relevan.
Definisi paling sesuai untuk kejahatan komputer saat ini adalah segala tindakan ilegal dengan menggunakan pengetahuan teknologi komputer untuk melakukan tindak kejahatan. Pencurian perangkat keras dan lunak (hardware dan software), manipulasi data, pengaksesan sistem komputer secara ilegal dengan telepon, dan mengubah program kesemuanya masuk definisi ini. Karakteristik lain dalam definisi ini adalah komputer dapat secara aktif atau pasif terlibat dalam suatu tindak kejahatan. Pengubahan data secara ilegal dalam suatu database, perusakan file, dan penggunaan program pendobrak (hacking) untuk mendapatkan akses ke dalam suatu sistem merupakan contoh-contoh keterlibatan komputer secara aktif. Sebaliknya, keterlibatan pasif berarti komputer menjadi alat dalam tindak kejahatan, tetapi tuduhan kejahatan komputer mungkin tidak relevan.
Jumlah kasus
“cyber crime” atau kejahatan di dunia maya yang terjadi di Indonesia adalah
yang tertinggi di dunia antara lain karena banyaknya aktivitas para “hacker” di
Tanah Air. “Kasus `cyber crime` di Indonesia adalah nomor satu di dunia,” kata
Brigjen Anton Taba, Staf Ahli Kapolri, dalam acara peluncuran buku Panduan
Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) di Jakarta, Rabu. Brigjen Anton Taba memaparkan,
tingginya kasus “cyber crime” dapat dilihat dari banyaknya kasus pemalsuan
kartu kredit dan pembobolan sejumlah bank.Menurut dia, para “hacker” lebih
sering membobol bank-bank internasional dibandingkan dengan bank-bank dalam
negeri. Setelah Indonesia, ujar Anton, negara lainnya yang memiliki jumlah
kasus “cyber crime” tertinggi adalah Uzbekistan. Karena tingginya kasus “cyber
crime”, ia juga mengkritik buku PBHI yang tidak memiliki bagian khusus yang
membahas tentang hal tersebut.(sumber:Antara).
Namun berdasarkan keterangan Kepala Subdirektorat IV Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Audie Latuheru saat ditemui Kompas.com di kantor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Senin (15/4/2013). Beliau mengatakan "jumlah laporan penipuan itu mencapai 40 persen dari seluruh kasus cyber crime.
Dilanjutkan dengan kasus pencemaran nama baik sekitar 30 persen, kasus pencemaran nama baik di Indonesia baik disengaja maupun tidak disengaja semakin marak, Mulai dari menulis di mailing list (milis), meneruskan (forward) email, melaporkan korupsi, memberitakan peristiwa di media, mengungkapan hasil penelitian, serta sederet tindakan lainnya. Seperti kasus Rumah Sakit Omni Internasional yang menjadi terkenal di Indonesia karena terkait dengan kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan oleh pihak rumah sakit kepada salah seorang mantan pasiennya, Prita Mulyasari, karena menulis keluhan atas pelayanan rumah sakit yang tidak memuaskan melalui milis, surat pembaca, serta media publikasi internet lain yang membuat Prita harus mendekam sebagai tahanan selama dua puluh hari. Pada kasus yang lain, seorang dokter bernama Febby Karina melaporkan Olga Syahputra ke Polda Metro Jaya perihal dugaan kasus pencemaran nama baik, fitnah, perbuatan tidak menyenangkan atau tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) pada 19 Juni 2013, kasus lainnya mantan Ketua Komite SMAN 70 Jakarta, Musni Umar berusaha membongkar kasus dugaan korupsi di sekolah itu. Namun, ia justru dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada tanggal 15 Juni 2011 dengan tuduhan melanggar Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atas tulisannya yang berjudul "Teladani Kejujuran Rasulullah SAW dalam Memimpin Sekolah". Serta masih banyak kasus serupa lainnya.
Hukum Pencemaran nama baik di Indonesia sendiri diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada Pasal 27 Ayat (3) UU ITE disebutkan bahwa: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sanksi terhadap orang yang melakukan perbuatan tersebut, diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun, serta denda maksimal satu miliar rupiah. Hal ini sebagaimana ketentuan pada Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, yang berbunyi: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Namun berdasarkan keterangan Kepala Subdirektorat IV Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Audie Latuheru saat ditemui Kompas.com di kantor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Senin (15/4/2013). Beliau mengatakan "jumlah laporan penipuan itu mencapai 40 persen dari seluruh kasus cyber crime.
Dilanjutkan dengan kasus pencemaran nama baik sekitar 30 persen, kasus pencemaran nama baik di Indonesia baik disengaja maupun tidak disengaja semakin marak, Mulai dari menulis di mailing list (milis), meneruskan (forward) email, melaporkan korupsi, memberitakan peristiwa di media, mengungkapan hasil penelitian, serta sederet tindakan lainnya. Seperti kasus Rumah Sakit Omni Internasional yang menjadi terkenal di Indonesia karena terkait dengan kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan oleh pihak rumah sakit kepada salah seorang mantan pasiennya, Prita Mulyasari, karena menulis keluhan atas pelayanan rumah sakit yang tidak memuaskan melalui milis, surat pembaca, serta media publikasi internet lain yang membuat Prita harus mendekam sebagai tahanan selama dua puluh hari. Pada kasus yang lain, seorang dokter bernama Febby Karina melaporkan Olga Syahputra ke Polda Metro Jaya perihal dugaan kasus pencemaran nama baik, fitnah, perbuatan tidak menyenangkan atau tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) pada 19 Juni 2013, kasus lainnya mantan Ketua Komite SMAN 70 Jakarta, Musni Umar berusaha membongkar kasus dugaan korupsi di sekolah itu. Namun, ia justru dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada tanggal 15 Juni 2011 dengan tuduhan melanggar Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atas tulisannya yang berjudul "Teladani Kejujuran Rasulullah SAW dalam Memimpin Sekolah". Serta masih banyak kasus serupa lainnya.
Hukum Pencemaran nama baik di Indonesia sendiri diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada Pasal 27 Ayat (3) UU ITE disebutkan bahwa: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sanksi terhadap orang yang melakukan perbuatan tersebut, diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun, serta denda maksimal satu miliar rupiah. Hal ini sebagaimana ketentuan pada Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, yang berbunyi: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Secara keseluruhan,
kasus cyber crime di Indonesia mencapai jumlah sekitar 520 kasus di
tahun 2011 dan 600 kasus di tahun 2012. Jumlah ini akan terus meningkat seiring
meningkatnya laporan masyarakat. Untuk penangangan terhadap kasus-kasus
kejahatan seperti ini masih terkendala masalah ruang hal ini dikarenakan dunia
maya adalah dunia tanpa batas.
F. DAMPAK PENCEMARAN NAMA BAIK
Dampak
Positif dan Negatif Pencemaran Nama Baik .
- Dampak
Positif
a Orang lain akan lebih berhati lagi dalam
melakukan
aktifitas di jejaring sosial
b Aturan yang dibuat akan membuat
pengguna
jejaring
social akan berfikir dua kali untuk
melakukan sesuatu yang membuat orang lain
merasa
terhina.
c Berkurangnya orang yang ingin mencela di
jejaring
social
d. Hanya
mengakses yang penting-penting saja
- Dampak
Negatif
a Membunuh karakter seseorang dengan mencitrakan
seseorang
dengan kata-kata yang memalukan yang
terkadang
tidak begitu baik jika dibaca oleh banyak
orang
b Dapat mengganggu mental seseorang yang menjadi
korbannya
c Banyak yang melakukan posting yang
tidak
seharusnya
di posting
d Banyak orang yang tidak mengetahui
dampak dari
postingan
yang membuat orang lain tersinggung
e.
Banyak orang yang tidak mengerti akan UU ITE yang berlaku
sehingga banyak yang tidak perduli kalau mau melakukan yang menyimpang
dijejaring social.
G. ATURAN HUKUM
PENCEMARAN NAMA BAIK DI JEJARING SOSIAL
Hati-hatilah
mem-posting informasi atau suatu dokumen melalui jejaring sosial seperti
twitter atau facebook. Karena jika ada pihak yang merasa dirugikan dan merasa
terhina atas posting tersebut maka dirinya berhak mengadukan perbuatan
Anda sebagai pencemaran nama baik.
Sebagaimana
pernah dijelaskan, berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik
atau penghinaan adalah perbuatan yang dapat dipidana jika dilakukan dengan cara
menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu yang maksud tuduhan
itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Cara penyebaran penghinaan ini
berdasarkan KUHP ada secara lisan dan tulisan.
Kemajuan
teknologi saat ini memunculkan juga kebutuhan akan regulasi yang melindungi
seseorang dari perbuatan penghinaan atau fitnah yang kemungkinan disebar
melalui jejaring sosial.
Sejak tahun
2008, Indonesia telah mengatur pencemaran nama baik di dunia maya, yang
tentunya temasuk jejaring sosial. Melalui UU Nomor 11 Tahun2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 27 ayat (3) UU ITE
menyebutkan: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik."
Sehingga,
jika ada orang yang melakukan perbuatan sengaja menyebarkan info atau dokumen
yang menghina seseorang, maka diancam pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun, serta denda maksimal satu miliar rupiah. Hal ini sebagaimana ketentuan
pada Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yang berbunyi : "Setiap orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ada banyak
jejaring sosial yang gemar digunakan masyarakat Indonesia dalam interaksi
dengan sesama, seperti facebook, twitter, google + dan program lainnya. Melihat
ketentuan di atas, setidaknya ada tiga unsur yang harus dicermati yaitu:
1) Unsur kesengajaan dan tanpa hak;
2) Unsur mendistribusikan, mentransmisikan,
membuat
dapat diaksesnya Informasi dan/atau
Dokumen
Elektronik; dan
3) Unsur
memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik
Jika
unsur-unsur tersebut terpenuhi maka sang pengirim informasi dapat dijebloskan
ke penjara.
H. LANGKAH BAGUS JIKA NAMA BAIK DICEMARKAN DI DUNIA MAYA
Ada 2 (dua) langkah yang
dapat diambil jika nama baik kita tercemar di dunia maya seperti Facebook:
1. mengirimkan surat elektronik (e-mail)
langsung yang ditujukan ke bagian Privacy Policy Facebook dengan
menginformasikan adanya pihak lain yang membuat duplikat dengan account (akun)
atas nama teman Anda dengan serangkaian maksud dari si pembuat untuk
mencemarkan nama sekolah, serta meminta agar menutup account (akun) tersebut,
sehingga si pelaku tidak lagi dapat mengulangi perbuatannya, dan
2.
melaporkan kepada pihak berwajib atas dugaan
tindak pidana pencemaran nama baik dan penghinaan.
Terkait dengan laporan
kepada pihak yang berwajib, ada 2 (dua) dasar hukum yang dapat dijadikan
sebagai dasar laporan yaitu pencemaran nama baik berdasarkan UU No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) dan penghinaan
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang pada prinsipnya
dapat digabungkan.
Penghinaan
Berdasarkan KUHP
Jika UU IT mengatur
mengenai pencemaran nama baik, KUHP mengatur tentang pasal penghinaan.
Pasal 310 KUHP, yang
dikutip sebagai berikut :
“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Sehingga dari ketentuan
Pasal 310 KUHP tersebut di atas, harus dibuktikan unsur-unsur sebagai berikut :
a) Unsur kesengajaan;
a) Unsur kesengajaan;
b)
Unsur menyerang kehormatan dan nama baik;
c)
Unsur di muka umum.
Untuk membuktikan kedua
dugaan tersebut, adalah tidak mudah untuk mengajukan bukti-bukti mengingat
kejahatan yang demikian bersifat maya (cyber crime). Namun demikian, bukti
permulaan dapat disajikan dengan bukti hasil cetakan (print-out) yang
menunjukkan pencemaran nama sekolah tersebut, sehingga penyidik dapat melakukan
olah data dan informasi lebih lanjut. Untuk lebih meyakinkan, sangat diperlukan
kehadiran ahli di bidang informasi dan teknologi yang dapat membantu
menterjemahkan fakta dalam dunia maya tersebut menjadi fakta hukum.
Dari sisi hukum perdata,
dengan bukti adanya putusan yang berkuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)
mengenai pidana dimaksud, sehingga dapat diajukan gugatan perbuatan melawan
hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang dikutip sebagai berikut:
“Tuntutan
perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian
serta pemulihan kehormatan dan nama baik.”
Dasar
hukum:
1.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23).
2. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)
3. Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
I. CONTOH KASUS
4.1. Kasus Prita Mulyasari
Semua pasti
sudah mengetahui kasus yang terjadi pada Prita Mulyasari, ibu rumah
tangga yang di tahan di LP wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena melakukan
pencemaran nama baik melalui internet terhadap Rumah Sakit OMNI Internasional
Tangerang.
Kami akan
coba jelaskan kasus yang menyita banyak perhatian semua kalangan, kasus
tersebut bermula ketika Prita menyebarkan e-mail kepada sepuluh orang
temannya yang berisi keluhannya terhadap Rumah Sakit tersebut. Email tersebut
kemudian menyebar luas ke mailing list, isinya hanya menggambarkan
pengalamannya bersinggungan dengan rumah sakit OMNI internasional. Hal tersebut
diklaim pihak rumah sakit sebagai tindakan pencemaran nama baik yang
menyebabkan kerugian dalam bentuk materil maupun dalam bentuk immateril.
Tindakan yang dilakukan oleh pelaku pencemaran nama baik di internet tersebut
dapat di kategorikan sebagai suatu tindakan
pidana karena telah mengganggu ketertiban umum dan adanya pihak yang
dirugikan dari adanya tindakan pencemaran nama baik melalui internet tersebut.
Berikut
kronologis kasus Prita Mulyasari yang harus berurusan dengan pihak berwenang
akibat mengirim email keluhan :
7 Agustus 2008
Prita
memeriksa kesehatan ke Rumah Sakit Omni Internasional yang berada didaerah
Serpong Tangerang dengan keluhan pusing dan panas. Dari hasil pemeriksaan
didapati hasil Thrombosit 27.000 (normal 200.000) dengan suhu badan 39
derajat. Kemudian langsung dirawat di rumah sakit dengan di diagnosa menderita
penyakit demam berdarah.
8 Agustus 2008
Prita
mendapat revisi hasil pemeriksaan kemarin yang awalnya 27.000 tapi sekarang
berubah jadi 181.000. kemudian prita mulai mendapat banyak suntikan obat.
9 Agustus 2008
Prita
mendapatkan suntikan obat lagi. Dokter menjelaskan dia terkena virus udara.
Malamnya Prita terserang sesak nafas selama 15 menit dan diberi oksigen. Karena
tangan kanan juga bengkak, dia memaksa agar infus diberhentikan dan menolak
disuntik lagi.
10 Agustus 2008
Terjadi dialog antara keluarga Prita dengan dokter. Dokter
menyalahkan bagian lab terkait revisi thrombosit. Prita mengalami pembengkakan
pada leher kiri dan mata kiri.
11 Agustus 2008
Terjadi
pembengkakan pada leher kanan, panas kembali 39 derajat. Prita memutuskan untuk
keluar dari rumah sakit dan mendapatkan data-data medis yang menurutnya tidak
sesuai fakta. Prita meminta hasil lab yang berisi thrombosit 27.000, tapi yang
didapat hanya informasi thrombosit 181.000. Pasalnya, dengan adanya hasil lab
thrombosit 27.000 itulah dia akhirnya dirawat inap. Pihak OMNI berdalih hal
tersebut tidak diperkenankan karena hasilnya memang tidak valid.
Di rumah sakit yang baru, Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi karena
dia terserang virus yang menular.
15 Agustus 2008
Prita mengirimkan email yang berisi keluhan atas pelayanan diberikan pihak
rumah sakit ke customer_care@banksinarmas.com dan ke kerabatnya yang lain
dengan judul “Penipuan RS Omni Internasional Alam Sutra”. Emailnya menyebar ke
beberapa milis dan forum online.
30 Agustus 2008
5 September 2008
Rumah Sakit
Omni mengajukan gugatan pidana ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus.
22 September 2008
8 September 2008
Kuasa Hukum
Rumah Sakit Omni Internasional menayangkan iklan berisi bantahan atas isi email
Prita yang dimuat di harian Kompas dan Media Indonesia.
24 September 2008
Gugatan
perdata masuk.
11 Mei 2009
Pengadilan
Negeri Tangerang memenangkan Gugatan Perdata Rumah Sakit OMNI. Prita terbukti
melakukan perbuatan hukum yang merugikan Rumah Sakit OMNI. Prita divonis
membayar kerugian materil sebesar 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi
di koran nasional dan 100 juta untuk kerugian imateril. Prita langsung
mengajukan banding.
13 Mei 2009
Mulai
ditahan di Lapas Wanita Tangerang terkait kasus pidana yang juga dilaporkan
oleh OMNI.
2 Juni 2009
Penahanan Prita diperpanjang hingga 23 Juni 2009. Informasi itu diterima
keluarga Prita dari Kepala Lapas Wanita Tangerang.
3 Juni 2009
Megawati dan JK mengunjungi Prita di Lapas. Komisi III DPR RI meminta MA
membatalkan tuntutan hukum atas Prita. Prita dibebaskan dan bisa berkumpul
kembali dengan keluarganya. Statusnya diubah menjadi tahanan kota.
4 Juni 2009
Sidang
pertama kasus pidana yang menimpa Prita mulai disidangkan di PN Tangerang.
Berikut isi
surat bantahan yang dikirim pihak rumah sakit yang dimuat di harian kompas dan
media indonesia :
Pengumuman & Bantahan
Kami, Risma Situmorang, Heribertus & Partners,
Advokat Dan Konsultan Hki, Berkantor Di Jalan Antara No. 45a Pasar Baru,
Jakarta Pusat, Dalam Hal Ini Bertindak Untuk Dan Atas Nama Omni International
Hospital Alam Sutera, Dr. Hengky Gosal, Sppd Dan Dr. Grace Hilza Yarlen. N;
Sehubungan Dengan Adanya Surat Elektronik (E-Mail)
Terbuka Dari Saudari Prita Mulyasari Beralamat Di Villa Melati Mas Residence
Blok C 3/13 Serpong Tangerang (Mail From: Prita.Mulyasari@Yahoo.Com) Kepada
Customer_Care @Banksinarmas.Com, Dan Telah Disebar-Luaskan Ke Berbagai Alamat
Email Lainnya, Dengan Judul ‘Penipuan Omni International Hospital Alam Sutera
Tangerang’;
Dengan Ini Kami Mengumumkan Dan Memberitahukan Kepada
Khalayak Umum/Masyarakat Dan Pihak Ketiga, ‘Bantahan Kami’ Atas Surat Terbuka
Tersebut Sebagai Berikut :
“1. Bahwa Isi Surat Elektronik (E-Mail) Terbuka
Tersebut Tidak Benar Serta Tidak Sesuai Dengan Fakta Yang Sebenarnya Terjadi
(Tidak Ada Penyimpangan Dalam Sop Dan Etik), Sehingga Isi Surat Tersebut Telah
Menyesatkan Kepada Para Pembaca Khususnya Pasien, Dokter, Relasi Omni
International Hospital Alam Sutera, Relasi Dr. Hengky Gosal, Sppd, Dan Relasi
Dr. Grace Hilza Yarlen. N, Serta Masyarakat Luas Baik Di Dalam Maupun Di Luar Negeri.
2. Bahwa
Tindakan Saudari Prita Mulyasari Yang Tidak Bertanggung-Jawab Tersebut Telah
Mencemarkan Nama Baik Omni International Hospital Alam Sutera, Dr. Hengky
Gosal, Sppd, Dan Dr. Grace Hilza Yarlen. N, Serta Menimbulkan
Kerugian Baik Materil Maupun Immateril Bagi Klien Kami.
3. Bahwa Atas Tuduhan Yang Tidak Bertanggung Jawab Dan
Tidak Berdasar Hukum Tersebut, Klien Kami Saat Ini Akan Melakukan Upaya Hukum
Terhadap Saudari Prita Mulyasari Baik Secara Hukum Pidana Maupun Secara Hukum
Perdata”.
Demikian Pengumuman & Bantahan Ini Disampaikan
Kepada Khalayak Ramai Untuk Tidak Terkecoh Dan Tidak Terpengaruh Dengan Berita
Yang Tidak Berdasar Fakta/Tidak Benar Dan Berisi Kebohongan Tersebut.
Jakarta, 8 September 2008.
Kuasa Hukum
Omni International Hospital Alam Sutera,
Dr. Hengky Gosal, Sppd, Dan Dr. Grace Hilza Yarlen. N
Dr. Hengky Gosal, Sppd, Dan Dr. Grace Hilza Yarlen. N
Risma Situmorang, Heribertus & Partners.
Ttd. Ttd.
Dra. Risma Situmorang, S.H., M.H. Heribertus S. Hartojo, S.H., M.H.
Advokat & Konsultan Hki. Advokat.
Ttd. Ttd.
Moh. Bastian, S.H. Christine Souisa, S.H.
Info terakhir,
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi gugatan perdata Prita Mulyasari
melawan Rumah Sakit Omni Internasional. Dengan keluarnya vonis tersebut Prita
dibebaskan dari seluruh ganti rugi.
Majelis
Hakim tingkat kasasi pada tanggal 29 September 2010 telah menjatuhkan putusan
yang pada pokoknya Mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Banten.
Majelis
Hakim tingkat Kasasi dalam putusannya adalah menolak seluruh gugatan dari Para
Penggugat. Yang menarik dari perkara Prita Tersebut ada beberapa kaidah hukum
yang bisa ditarik, yaitu diantaranya sebagai berikut :
Bahwa
mengungkap sebuah perasaan berupa keluhan tentang apa yang telah dialami selama
menjalani proses pengobatan, baik berupa pelayanan selama di rawat inap maupun
tindakan medis lainnya selama berada di rumah sakit yang dituangkan dalam
sebuah email lalu disebar luaskan melalui email ke alamat email kawan-kawannya,
tidaklah kemudian lalu dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum;
Bahwa
tindakan mengirim atau menyebarkan email yang berisi keluhan tersebut kepada
kawan-kawannya, juga bukan merupakan sebuah penghinaan, oleh karena hal
tersebut bukan dimaksudkan untuk menyerang pribadi seseorang atau instansi,
melainkan hal tersebut adalah merupakan sebuah kenyataan atau fakta tentang apa
yang dialami berkenaan dengan pelayanan medis;
Bahwa email
adalah merupakan sebuah media komunikasi yang bersifat personal dan tertutup
dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengakses dan membacanya, dengan
demikian bukan merupakan media yang bersifat umum dimana setiap orang dapat
membuka dan membacanya, seperti media umum lainnya;
Bahwa
mengeluh sebuah pelayanan medis dengan menggunakan surat elektronik terbuka
pada sebuah situs (customer@banksinarmas.com), lalu
mengirimkan hal tersebut kepada kawan-kawannya melalui email, masih dianggap
dan dinilai dalam batas-batas kewajaran dalam kerangka penyampaian informasi
dengan menggunakan jenis saluran yang tersedia;
Bahwa hak
untuk menyampaikan informasi melalui berbagai media, secara konstitusional
telah diakui dan dijamin dalam pasal 28 F UUD 1945 yang menentukan bahwa "
setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia'
Bahwa adanya
putusan hakim pidana yang telah menyatakan terdakwa dibebaskan dari tindak
pencemaran nama baik, terkait dengan gugatan perdata, putusan pidana tersebut
dapat dijadikan bahan dan dipakai sebagai salah satu dasar / alasan untuk
menentukan bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut bukanlah sifat melawan
hukum, sehingga dapat membebaskan dirinya dari adannya tuntutan ganti rugi
secara perdata atas gugatan pencemaran nama baik/perbuatan melawan hukum.
Jakarta – Masyarakat Indonesia masih terngiang drama keadilan Prita
Mulyasari. Hal ini terulang dalam email curhat dr Ira Simatupang tentang
perilaku atasannya. Dokter yang pernah bertugas di RUSD Tangerang ini pun
mengejar keadilan ke Mahkamah Agung (MA).
“Tindakan pemohon
kasasi dilakukan dalam kondisi di luar kesadaran serta dalam kondisi tekanan
mental yang sangat besar akibat berlarut serta bertubi-tubinya permasalahan
yang dialami,” kata kuasa hukum dr Ira, Slamet Yuwono saat berbincang dengan
detikcom,
Senin (18/3/2013).
Permasalahan yang dia alamai dia tumpahkan dalam email yang dia kirim
periode 23 April hingga September 2010. Emailnya berisi curhat apa yang dialami
di kantornya, terutama perilaku tak senonoh atasannya. Email ini membuat orang
yang digunjing merasa tidak nyaman dan mempolisikan hal tersebut.
Pada 17 Juli 2012, PN Tangerang menghukum dr Ira pidana percobaan selama 10
bulan. Jika dalam waktu itu dia mengulangi lagi perbuatannya maka langsung
masuk penjara selama 5 bulan.
Putusan ini dikuatkan dan hukumannya diperberat oleh Pengadilan Tinggi (PT)
Banten pada 29 November 2012. dr Ira malah divonis menjadi hukuman percobaan 2
tahun. Jika dalam waktu itu dia mengulangi lagi maka akan langsung dipenjara
selama 8 bulan.
Merasa banyak kejanggalan, dr Ira pun mengejar keadilan lewat kasasi ke MA.
“Atas Putusan Pengadilan Tinggi Banten No 151/Pid/2012/PT.BTN tersebut dr Ira
Simatupang melalui kuasa hukumnya, OC Kaligis pada 17 Januari 2013 telah
menyatakan kasasi sekaligus mengajukan memori kasasi melalui Pengadilan Negeri
Tangerang,” cetus Slamet.
Kasus ini mengingatkan masyarakat atas apa yang dialami oleh Prita
Mulyasari. Meski akhirnya Prita dibebaskan di tingkat Peninjauan Kembalil (PK)
MA, namun Prita sempat merasakan dinginnya penjara karena email curhat yang dia
sebar soal keluhan layanan rumah sakit.
“Harapan kami MA bisa memeriksa secara obyektif perkara ini karena
lagi-lagi terkait Pasal tentang UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
di mana pemeriksaannya harus bener-benar ditangani oleh hakim agung yang
mengetahui dan ahli tentang UU ITE,” pungkas alumnus Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya,
4.2. Jadi
Tersangka Pencemaran Nama Baik Rasyad minta perlindungan KPJKB
|
|
|
Tersangka kasus pencemaran nama baik , Muh Arsyad (27) (kanan) mendatangi
kantor relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB)
di Jl Beruang no 49 Makassar, Kamis siang (15/8) untuk meminta perlindungan.
Arsyad diterima Koordinator KPJKB, Upi Asmaradhana.
MAKASSAR, RAKYATSULSEL.COM – Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB)
menyatakan siap mendampingi Muhammad Arsyad yang menjadi korban penganiayaan
saat menjadi narasumber di Celebes TV sekaligus ditetapkan tersangka lantaran
menulis status di Blackberry Messenger-nya yang menyebut nama Nurdin Halid
sebagai koruptor.
Sebagaimana statusnya: “No Fear Ancaman Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan
Pilih Adik Koruptor!!!.” Selain status itu, juga pernyataan Arsyad saat menjadi
narasumber di Stasiun Televisi lokal CelebesTV, Obrolan Karebosi 24 Juni lalu.
Arsyad mendatangi Kantor relawan KPJKB di Jalan Beruang No 49, Kamis (15/8)
siang dan diterima oleh Koordinator KPJKB Upi Asmaradhana, Sekjen KPJKB Jumadi
Mappanganro, dan Advokasi KPJKB Herwin Bahar.
Arsyad membawa surat pemanggilan dirinya, sebagai tersangka tindak pidana
penghinaan dalam UU No 11. Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik Jo Pasal 310 dan atau 335 KHUP Pidana.
Upi mengatakan, pihak relawan akan membantu Arsyad menghadapi kasusnya.
Apalagi kasus ini, menyangkut kebebasan berekspresi. “Karena korban datang
mengadu, kita akan dampingi. Dalam demokrasi, tidak boleh ada orang yang
dihukum hanya karena berbeda pikiran, pendapat dan opini,” kata Upi
Upi meminta Polda Sulsel untuk tidak gegabah menjadikan pasal-pasal karet
dalam menjerat Arsyad. Apalagi kasus pencemaran nama baik itu, dianggap akan
mengekang dan membungkam kebebasan berbicara.
“Jika ini terjadi. Ini satu kemunduran dalam demokrasi. Kelak di daerah ini
tidak ada lagi pihak yang berani bicara, karena setiap orang kritis ditangkapi
karena kepekaannya,” jelas Upi.
Upi menyatakan kebebasan berbicara dan berpendapat dilindungi oleh
undang-undang. Selain konsititusi Pasal 28 E ayat (2) dan (3), UU No 39 tahun
1999 Pasal 23 juga mengatur hak berbicara. Pasal 19 Deklarasi Hak Asasi Manusia
PBB juga memegang prinsip tersebut dan Pasal 19 Kovenan Internasioonal tentang
Hak-hak Sipil dan politik.
Herwin bahar, Kabid Advokasi KPJKB menyatakan, kasus Arsyad adalah kasus
yang sama menimpa seorang guru di Pangkep. Budiman dilaporkan oleh Bupati
Pangkep karena menulis di media sosial Facebook. “Ini kasus pencemaran nama
baik yang kesekian kalinya terjadi di daerah ini,” kata Herwin.
Sebelum Arsyad, relawan telah menangani kasus pencemaran nama baik sejumlah
jurnalis dan narasumber serta masyarakat sipil, di daerah ini.
Sementara Arsyad menjelaskan, orang yang melaporkan dirnya adalah Wahab
Tahir anggota DPRD Kota Makassar dari Partai Golkar Makassar yang juga kerabat
dekat Nurdin Halid, Pengurus DPP Partai Golkar.
Arsyad sejatinya adalah narasumber korban pengeroyokan saat berlangsungnya
program Talkhsow Obrolan Karebosi di Stasiun televisi lokal CelebesTV, 24 Juni
2013.
Saat itu sekelompok massa berseragam salah satu calon walikota bertagline,
SuKA menyerbu masuk ke ruang redaksi dan menghentikan program live
CelebesTV.SuKa adalah akronim dari Supomo-Kadir. Kadir Halid sendiri adalah
adik kandung Nurdin Halid yang berpasangan dengan Supomo Guntur, yang maju
dalam pemilihan walikota Makassar periode 2013-2018.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di dunia ini banyak hal yang memiliki dualisme yang kedua sisinya saling
berlawanan. Seperti teknologi informasi dan komunikasi, hal ini diyakini
sebagai hasil karya cipta peradaban manusia tertinggi pada zaman ini. Namun
karena keberadaannya yang bagai memiliki dua mata pisau yang saling berlawanan,
satu mata pisau dapat menjadi manfaat bagi banyak orang, sedangkan mata pisau
lainnya dapat menjadi sumber kerugian bagi yang lain, banyak pihak yang memilih
untuk tidak berinteraksi dengan teknologi informasi dan komunikasi.
Sebagai manusia yang beradab, dalam menyikapi dan menggunakan teknologi
ini, mestinya kita dapat memilah mana yang baik, benar dan bermanfaat bagi
sesama, kemudian mengambilnya sebagai penyambung mata rantai kebaikan terhadap
sesama, kita juga mesti pandai melihat mana yang buruk dan merugikan bagi orang
lain untuk selanjutnya kita menghindari atau memberantasnya jika hal itu ada di
hadapan kita.
Bahwa
mengungkap sebuah perasaan berupa keluhan tentang apa yang telah dialami selama
menjalani proses pengobatan, baik berupa pelayanan selama di rawat inap maupun
tindakan medis lainnya selama berada di rumah sakit yang dituangkan dalam
sebuah email lalu disebar luaskan melalui email ke alamat email kawan-kawannya,
tidaklah kemudian lalu dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum;
Saran
Cybercrime adalah bentuk kejahatan yang mestinya kita hindari atau kita
berantas keberadaannya. Cyberlaw adalah salah satu perangkat yang dipakai oleh
suatu negara untuk melawan dan mengendalikan kejahatan dunia maya (cybercrime)
khususnya dalam hal kasus cybercrime yang sedang tumbuh di wilayah negara
tersebut. Seperti layaknya pelanggar hukum dan penegak hukum.
Pencemaran
nama baik (Defamation) adalah tindakan mencermarkan nama baik seseorang
dengan cara menyatakan sesuatu baik melaui lisan ataupun tulisan.
Demikian makalah ini kami susun dengan usaha yang maksimal dari tim kami,
kami mengharapkan yang terbaik bagi kami dalam penyusunan makalah ini maupun
bagi para pembaca semoga dapat mengambil manfaat dengan bertambahnya wawasan
dan pengetahuan baru setelah membaca tulisan yang ada pada makalah ini.
Namun demikian, sebagai manusia biasa kami menyadari keterbatasan kami
dalam segala hal termasuk dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kami
mengharapkan kritik atau saran yang membangun demi terciptanya penyusunan
makalah yang lebih sempurna di masa yang akan datang. Atas segala perhatiannya
kami haturkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Oemar Seno. 1990. Perkembangan
Delik Pers di Indonesia. Jakarta: Erlangga;
-----------. 1997. Mass Media dan
Hukum, cet.2. Jakarta: Erlangga;
Ali, Chaidir. 1991. Badan Hukum, Cet
2. Bandung: Alumni;
Ali, Mahrus. 2011. Dasar-Dasar Hukum
Pidana. Jakarta: Sinar Grafika;
Anwar. H. A. K. Moh. 1994. Hukum
Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 1. Bandung: Citra Aditya Bakti;
Arief, Barda Nawawi. 1990. Perbandingan
Hukm Pidana. Jakarta: Rajawali Pers;
Adami
Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), Hlm. 75
Anoname.2011. Majalah Interaksi Acuan Hukum dan Kemasyarakatan. Diambil dari : http://berita.kafedago.com/kirimkomentar.asp (24 April 2012 pukul 22.32)
Andi hamzah, Boedi D. Marsita.1987.Aspek- aspek Pidana dibidang komputer. Jakarta :Sinar
Grafika.
Chazawi, Adami. 2007. Pelajaran Hukum
Pidana Bag. 2. Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan Pidana, Pemberatan dan
Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada;
Halim et.al, 2009. Menggugat
Pasal-Pasal Pencemaran Nama Baik. Jakarta: LBH Pers;
Harahap, M. Yahya. 1985. Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar
Grafika;
Hukum Anak Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2003) hlm.2-3.
http://budi.insan.co.id Diakses 24 April 2012 pukul 22.48
http://www.gatra.com/2004-10-13/. Cybercrime di Era Digital. Diakses 24
April 2012 pukul 22.10
Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan
Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing;
Junaedhie, Kurniawan. 1991. Ensiklopedia
Pers Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama;
Kansil, C.S.T. 1992. Pengantar Ilmu
Hukum, Jilid 1. Jakarta: Balai Pustaka;
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2004. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita;
Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan
Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika
Lamintang, P.A.F. 1990. Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, Cet. 2. Bandung: Sinar Baru;
Marpaung, Leden. 1997. Tindak Pidana
Terhadap Kehormatan, Pengertian dan Penerapannya. Jakarta: PT Grafindo
Persada;
-------------, Leden. 2010. Proses
Penanganan Perkara Pidana, Buku 2. Jakarta: Sinar Grafika;
Mudzakir. 2004. Delik Penghinaan
dalam Pemberitaan Pers Mengenai Pejabat Publik, Dictum 3;
Muis, A. 1996. Kontroversi Sekitar
Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah
Komunikasi, Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers. Jakarta: PT. Mario Grafika;
Prodjodikoro, Wiryono. 2003. Tindak-tindak
Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama;
Samidjo.
1985. Pengantar Hukum Indonesia.
Bandung: Armico;
Setiyono, H. 2001. Kejahatan
Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum
Pidana Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing;
Soedarto. 1975. Hukum Pidana I A dan I B. Purwokerto: Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
-----------.1990. Hukum Pidana I A dan I B. Purwokerto: Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
Soekanto,
Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press;
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja
Grafindo Persada;
Soesilo, R. 1994. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Serta Komentarnya Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia;
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi
Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia;
Sugandhi, R.
2001. KUHP dan Penjelasannya.
Surabaya: Usaha Nasional;
Syahdeini, Remy. 2006. Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi. Jakarta: Grafitipers;
Wahidin, Samsul. 2006. Hukum Pers.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar;
Wiryawan, Hari. 2007. Dasar-dasar
Hukum Media. Yogyakarta: Pustaka Pelajar;
DAFTAR RIWAYAT
HIDUP
I.
Data Pribadi
a. Nama : Muh. Fachri Adam
b. NIM : 412 13 001
c. Jurusan : Teknik Sipil
d. program Studi : D4 Jasa
Kosntruksi
e. Kelas : 2-A Jasa
Kosntruksi
f. TTL : Makassar, 6 Mei 1995
g. Jenis
Kelamin : Laki – Laki
h. Agama :Islam
i. Alamat asal : jl. Printis Kemerdekaan KM. 18
No. 35 RW/ RT 001 Kel.
Pai,
Sudiang
j. No. Hp : 085341013506
II. Riwayat
pendidikan
a.
SD
Negeri Pai Tahun 2007
b.
SMP
Negeri 14 Makassar Tahun 2010
c.
SMA
Negeri 7 Makassar Tahun 2013
d.
Politeknik
Negeri Ujung Pandang Angkatan 2013
III. Pengalama
Organisasi
a.
Seketaris
Pasukan GP. SMPN 14 MKS
b.
Ketua
Osis SMAN 7 MKS
c.
Seketaris
MPK SMAN 7 MKS
d.
Seketaris
Dewan Ambalan GP. SMAN 7 MKS
e.
Seketaris
Remaja Masjid
f. Ketua Forum
Pelajar Sul-Sel
g. K. Kordinator
Forum Pelajar Makassar
h. Anggota Pramuka
Racana Univ. Hasanuddin
i. Keluarga
Mahasiswa Teknik Sipil
catatan :
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………........
Tiada ulasan:
Catat Ulasan